Aku, melihat kerumunan
orang-orang di kantin sekolah. Aku berusaha masuk ke dalam sana, tapi sulit
sekali rasanya. Akhirnya aku tunggu hingga sedikit lebih sepi. Saat aku
memesan, ternyata makanan favoritku di kantin sekolah sudah habis. Dengan rasa
kesal, aku memesan susu kemasan rasa coklat supaya aku merasa kenyang,
pengganti makan siangku. Kemudian, aku kembali ke kelas.
Di kelas, teman-temanku membawa
bekal makanan ke sekolah. Kelihatannya enak. Biasanya makanan itu di siapkan
oleh orang tua mereka—atau mungkin—mereka membuatnya sendiri. Aku sedikit iri pada
mereka.
Bagaimana aku tidak iri, bayangkan saja, bangun
sepagi apapun pasti membutuhkan waktu lama bagiku untuk siap-siap. Aku tidak
pernah bisa langsung bangun dan bersiap-siap kecuali telat. Selesai
bersiap-siap ke sekolah, aku turun ke lantai bawah. Tidak ada apa-apa di meja
makan, karena aku memang jarang sarapan, kecuali jika aku meminta sarapan pada
ayahku. Aku langsung mengambil sepatu dan berangkat tanpa pamit dengan
siapapun. Mengapa? Singkat saja, Ayahku jarang pulang ke rumah—dan sejujurnya aku sangat senang dengan hal ini. Ia
hanya memberiku uang bulanan—sedangkan
ibuku sudah tiada karena penyakit yang dideritanya. Jadi, siapa yang akan
memasak untukku? Hanya saat libur—dan
itu kalau aku sedang tidak malas—barulah
aku mau memasak, tentunya untuk diriku sendiri.
Sudahlah, tak ada gunanya memperhatikan mereka terus.
Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah jendela kelas. Dari posisiku duduk, aku
tidak bisa melihat ke lapangan karena aku duduk di kursi ketiga dari depan,
barisan ketiga dari pintu kelas. Aku hanya bisa memperhatikan langit dengan
pikiran melayang.
"Shiori!"
"Apa?"
"Kau mau ikut?"
"Ke mana?"
"Ke pertunjukan sirkus keliling."
"Kapan?"
"Minggu depan."
"Boleh juga! Berapa harga tiketnya?"
"Tenang saja! Aku yang traktir!"
"Terima kasih."
"Sama-sama!"
Wah, pertunjukan sirkus!
Ditraktir pula! Kuharap, pertunjukan ini akan menyenangkan.
Menunggu orang lain benar-benar tidak menyenangkan.
Cuaca yang sedikit mendung membuat udara terasa dingin. 'Si pentraktir'
tak juga datang, padahal sudah tiga puluh menit berlalu. Benar-benar
mengesalkan. Di tempat sesuai janji, hanya ada aku dan ketiga temanku. Mereka
adalah Sayu, Nana, dan Kaori. Yang pertama adalah Sayu. Dia adalah anak yang
kikuk, keibuan, dan menyenangkan. Yang kedua adalah Nana. Nana itu orangnya
cengeng, tapi baik dan pintar. Yang kedua terakhir adalah Kaori. Jujur saja,
aku kurang menyukai Kaori. Dia menyebalkan. Dia adalah anak baru yang sedikit
sombong. Mungkin karena kami terlalu baik dan terlalu ramah padanya, ia jadi
merasa seperti 'bukan anak baru' dan
itu sangat menyebalkan. Karena itu pula, dia ada di sini. Menganggap dirinya
sebagai sahabat kami. Dia juga suka mengikuti ke mana pun kami pergi.
Benar-benar menyebalkan. Jujur saja, kami semua kurang suka padanya. Tapi, yang
sangat terlihat ke'kurang-sukaannya' hanya aku dan Sayu saja.
"Maaf, aku terlambat!" suara Yuki terdengar
dari kejauhan. Dialah 'si pentraktir'
yang aku maksud. Orang terakhir yang kuperkenalkan pada kalian,
tentu saja karena dia terlambat.
"Sudah lewat 30 menit."
"Maaf, Shiori! Langsung berangkat saja
yuk!" usul Yuki segera.
Sesampainya di sana, kami di sambut oleh badut-badut
yang ramah dan lucu. Badut-badut itu bermacam-macam. Ada yang seperti badut
biasa—dengan
hidung merah dan rambut anehnya—ada yang
kakinya panjang. Banyak sekali. Di
lapangan itu juga banyak kios yang menjual makanan, mainan—seperti arena bermain atau ketika festival-festival
berlangsung—dan juga sangat ramai.
Kami memutuskan untuk membeli popcorn dan kembang
gula untuk di makan saat pertunjukan. Kami juga berkeliling dan bermain
sebentar di kios 'tembak dan dapat hadiah' di mana Nana berhasil menembak dan
mendapatkan banyak boneka kecil. Masing-masing dari kami juga diberi oleh Nana.
"Eh, teman-teman! Aku mau beli es krim. Ada yang
mau?"
"Aku mau yang mint, Sayu yang blueberry,
Yuki yang vannila, dan Kaori seperti biasa yang strawberry."
"Seperti biasa Nana, kau memang pintar dan
memiliki ingatan yang hebat.!"
"Tak perlu memujiku seperti itu."
"Biar aku bantu, Shiori!" Kaori 'beraksi'.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Terima
kasih." ujarku dengan cepat dan sedikit ketus—walaupun sebenarnya aku berniat sepenuhnya ketus, tapi
aku tidak pernah bisa ketus padanya karena takut yang lain akan menunjukan
sikap menjauh dariku dan lebih memilih Kaori—kemudian
segera berjalan ke kios es krim. Aku segera memesankan pesanan mereka semua.
Sambil menunggu pesanan, aku memandang ke sekitarku. Sejauh mata memandang,
hanya ada kerumunan orang-orang yang tersenyum bahagia. Mataku kembali
mengelilingi tempat itu dan akhirnya terhenti pada seorang pemuda jangkung yang
memakai topi besar—dan
terlihat jelas ia memiliki niat lain di sini yang tentu saja bukan untuk bersenang-senang—ia terlihat mencurigakan. Namun, aku tak begitu
menghiraukannya karena bukan urusanku dia mau apa datang ke tempat ini. Kenal
orang itu pun tidak, bagaimana aku harus mengurusi urusannya? Jika orang itu
mencuri, aku tidak tahu, apakah aku akan peduli dan menghentikannya atau tidak.
"Maaf, nona! Pesanannya." kata penjaga kios
setengah berseru padaku.
"Eh, oh! Ya! Terima kasih." jawabku sedikit
terkaget. Sepertinya penjaga kios itu sudah memanggilku sejak tadi, namun aku
terlalu asyik melamun. Aku segera berjalan, menyeberangi kerumunan orang-orang,
menuju tempat di mana teman-temanku menunggu.
"Ah!" seruku dengan pelan. Seseorang
menabrak ku dari belakang, seperti sedang terburu-buru. Sekilas aku melihat
orang itu. Orang itu adalah pemuda misterius yang kulihat tadi! Dia menatapku
sesaat dan langsung pergi setengah berlari terburu-buru. Aku kembali berjalan menuju tempat
teman-temanku menunggu.
"Ini es krimnya!" kataku. Tepat ketika aku
mengambil es krim coklatku, terdengar pengumuman di speaker.
"Pengunjung sekalian, pintu masuk tenda sirkus telah di buka! Para
pengunjung dipersilakan untuk segera mengantri dengan tertib. Siapkan tiket
kalian dan nikmatilah pertunjukannya!"
Tanpa pikir panjang, kami segera pergi dan mencapai
tempat mengantri beberapa saat kemudian. Syukurlah, antrian itu belum terlalu
panjang! Dengan tidak sabar, kami menunggu giliran untuk masuk ke dalam tenda
pertunjukan.
Setelah beberapa orang masuk ke dalam tenda, aku baru
menyadari, wajah si pengambil tiket sedikit menyeramkan. Cengirannya sangat
menakutkan, seperti monster yang menyeringai untuk menakuti mangsanya, tetapi
menurutku ia hanya berusaha menjadi lebih ramah. Sebentar lagi giliranku
menyerahkan tiket, aku harus mencari tiketnya di tas ku.
"Ehem, nona. Tiketnya?"
"Oh, ya! Sebentar, biar aku cari. Tadi ada di
tasku. Di mana tiketnya?"
"Maaf, nona. Anda tidak bisa masuk."
wajahnya yang berusaha ramah kini terlihat
masam dan makin menyeramkan.
"Eh, tapi tiketnya tadi ada di tas ku!"
"Maaf, nona, anda tidak bisa masuk. Jika anda
bersikeras untuk mencarinya, tolong bergeser agar pengunjung lainnya bisa
masuk."
"Ada di sini! Tadi ada di sini!" aku terus
bergumam sambil mencarinya. Teman-temanku yang sudah masuk terlebih dahulu
menungguku di pintu masuk bagian dalam.
"Teman-teman! Aku akan mencarinya di dekat
kios-kios!"
"Shiori! Biar aku bantu kau mencari—"
"Maaf, nona. Tiket hanya berlaku untuk satu kali
masuk." Kaori yang akan 'beraksi' dihalangi oleh si penjaga pintu
masuk. Terima kasih banyak penjaga seram!
"Tidak apa-apa, aku—"
"Aku bisa sendiri, Kaori!"
"Maaf, nona-nona, kalian menghalangi pintu
masuk. Tolong masuk dan segera cari kursi untuk menikmati pertunjukan."
"Tapi kami—"
"Silakan!"
Aku kembali menyusuri tempat-tempat yang aku
kunjungi. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Dengan pasrah, harus ku terima,
tiketku hilang. Aku tak bisa menontonnya. Tanpa ku sadari, pertunjukan telah di
mulai. Terdengar sorak-sorai penonton yang gembira. Aku mengeluarkan ponselku
dan mulai mengetik pesan singkat.....
Yuki, aku tidak
menemukan tiketku. Kalian nikmati saja pertunjukannya. Aku akan menunggu kalian
di luar tenda.
Beberapa saat kemudian, Yuki
menjawab.
Maaf Shiori. Kami tidak bisa keluar sampai pertunjukan
ini selesai.
Bersamaan dengan itu, pesan singkat dari Kaori masuk.
Maaf, Shiori. Kalau aku bisa keluar, aku pasti akan
menemanimu.
Aku segera menutup ponselku
dengan kesal. Bukan karena kesal tidak bisa menonton pertunjukan, tetapi kesal
karena Kaori. Entah kenapa, aku kesal dengan sifatnya itu. Terkadang kalau
dipikir kembali, aku sebenarnya mirip dengan dia. Dan aku benci memiliki
kesamaan dengannya. Aku hanya ingin mirip dengan 'aku'. Tapi
kelihatannya, hadirnya seseorang yang mirip aku itu sangat menyebalkan, kau
tahu? Artinya sama saja dengan 'KAU DAPAT DIGANTIKAN ORANG LAIN'. Dan
aku benci itu!
Sambil menahan amarah, aku
berjalan melewati kios es krim tadi. Masih berusaha mencari tiket itu. Sehelai
kertas tergeletak di tengah jalan itu. Itu.... ya! Itu tiketku! Tapi,
terlambat. Aku sudah tidak bisa masuk ke sana. Kesal dan sedih karena hal-hal
tersebut, aku memilih berkeliling dan melihat-lihat. Setelah puas berkeliling,
takut-takut dan penasaran, aku memberanikan diri mendekati belakang tenda
pertunjukan.
Ada banyak makhluk aneh dan
hewan pertunjukan di sana, seperti singa, gajah, dan lain-lain—anehnya, semua di gembok dengan gembok mewah dan mahal.
Ada juga aquarium besar di
sana. Tapi, aquarium itu kosong.
Ikan besarkah yang tinggal di sana? Atau mungkin, Putri Duyung yang hanya ada
dalam negeri dongeng? Entahlah. Di sana juga ada karavan-karavan milik artis
sirkus. Benar-benar menakjubkan! Jauh dari sana, ada sebuah jeruji besar yang
seperti 'terpisah' dari jeruji tempat hewan-hewan pertunjukan dikurung.
Termasuk yang satu ini, dikunci dengan gembok mewah.
Takut-takut dan sedikit menjaga jarak, aku mendekati
jeruji itu. Dalam cahaya remang-remang dari obor, terbentuklah sebuah bayangan
di rerumputan dekat jeruji itu. Bayangan itu, benar-benar 'aneh'.
Bayangan itu seperti seekor harimau besar, namun memiliki sesuatu menempel di
punggungnya. Tidak mungkin harimau memiliki sayap, ya kan? Tapi, entahlah jika
tebakanku benar. Ini kan 'sirkus'. Aku benar-benar penasaran dengan
hewan yang ada di jeruji besi itu. Aku memberanikan diri mendekat, dan
kini, jelas sudah apa yang ada di
dalamnya.
Seekor harimau putih dengan sayap—seperti yang kuperkirakan—sepasang
sayap ada di punggungnya. Tetapi sayap itu bukanlah sayap biasa. Sayap kirinya
berupa sayap burung yang berwarna putih seputih salju. Namun, sayap kanannya
berupa sayap kelelawar—yang
tentu saja—berwarna hitam. Harimau itu
sedang membuka mulutnya selebar mungkin, seperti siap menyantap seseorang. Dan,
seorang anak berada di dekatnya, duduk
sambil memegangi leher si harimau yang mulutnya hampir menerkam kepala anak
itu. Apakah dia akan memakan anak itu?
"Kau. Anak perempuan, kemarilah!" sebuah
suara memanggil. Harimau itu kah?
"Iya!"
"Tolong urus anak laki-lakiku." Bagaimana
bisa anak itu adalah anak harimau itu?
Seakan-akan bisa mendengar pertanyaanku, harimau itu segera menjawab,
"Bisa saja. Ibunya adalah seorang manusia. Aku
sejatinya adalah manusia harimau. Maukah kau?"
"Uhm, tapi..."
"Aku tidak bisa mengurungnya terus-terusan
bersamaku di sirkus ini. Ia masih sangat muda, ia butuh belajar agar ia bisa
menjadi lelaki yang hebat saat besar nanti. Aku harus menitipkannya pada
seseorang. Ia harus menemukan 'tempat' nya."
"Jadi, aku harus menemukan 'tempat' untuknya? Bagaimana caranya?"
"Kau akan menemukannya. Tunggulah, tidak akan
lama. Bersembunyilah di bawah kandangku."
Beberapa saat setelah aku bersembunyi, empat orang
badut menarik rantai. Badut itu adalah badut ramah yang tadi aku lihat saat
masuk ke lapangan ini! Ya ampun, rantai itu membelenggu seorang anak laki-laki
berambut biru panjang sebiru laut! Ah, tidak! Biru itu, seperti batu aquamarine!!
Begitu indah. Matanya ditutup dengan kain putih. Di kepalanya, ada tanduk
seperti tanduk banteng.
Ketika dekat dengan aquarium, badut itu menaiki tangga di belakang aquarium dan menjatuhkannya ke aquarium besar itu. Saat air
menyentuh kaki anak lelaki itu, seketika itu juga kakinya berubah menjadi
bersisik dan muncul sirip di tangan dan kakinya. Seluruh tubuhnya menjadi
berwarna emas putih. Di lehernya muncul sesuatu, seperti insang. Meskipun di
dalam aquarium, kain penutup matanya tidak dilepas. Begitu juga dengan
rantai-rantai yang mengikatnya. Rantai yang—lagi-lagi—
berlapis berlian mewah dengan rambut aquamarine anak itu dan sisiknya
yang berwarna emas putih terlihat berkilauan di dalam air. Benar-benar indah!
Jadi, Manusia Ikan ya! Keren!
Badut-badut itu segera pergi membebaskan gajah-gajah
dan masuk ke tenda pertunjukan. Harimau itu kembali berbicara padaku.
"Anak perempuan. Bebaskanlah anak ku dan duyung
itu. Duyung itu akan membantumu. Carilah kuncinya!"
"Eh, di mana?"
"Karavan milik Ketua Sirkus."
"Hah?"
"Cepatlah!"
"Baik!"
Aku segera pergi ke kompleks
karavan untuk mencari karavan itu. Namun, tidak aku temukan juga. Bagaimana
ini? Saat aku menoleh ke samping kananku, itulah karavan yang aku cari! Aku
tahu itu karavannya. Bagaimana tidak, terpampang jelas di pintu masuknya,
tertulis, 'KARAVAN KETUA SIRKUS'.
Ketika aku akan naik tangga ke karavan, seseorang
dengan terburu-buru hampir menabrak ku. Saat itu juga aku menyadari, dialah
pemuda mencurigakan yang aku lihat tadi. Dan dia, membawa tas yang isinya
sangat penuh. Tepat sasaran! Benar dugaanku pemuda itu adalah pencuri! Seketika
itu juga aku menyadarinya. Pemuda itu baru akan kabur, namun dengan gesit aku
menarik bajunya.
"Lepaskan! Apa urusanmu?! Aku tidak punya urusan
denganmu anak kecil!"
"Maaf, bisa berikan tas itu padaku? Ada barang
penting yang kubutuhkan!"
"Apa maksudmu?"
"Kunci. Aku butuh kunci untuk membuka rantai dan
jeruji besi."
"Kunci apa?! Aku tak mengerti! Sudah,
lepaskan!" ia berhasil kabur.
"Tunggu! Oh, tidak! Aku kehilangan kunci itu.
Bagaimana aku harus mencarinya?" gumamku dengan sedih dan menunduk putus
asa.
CRIIING! Sebuah kunci
terjatuh di kakiku. Itu kuncinya!
"Aku pinjamkan kunci itu! Cepat kembalikan,
kunci itu berlapis berlian, emas putih, dan lain-lain! Sangat mahal!"
serunya dari kejauhan.
"Terima kasih!" segera aku berlari menuju
jeruji besi itu. Aku mencoba semua kunci dan akhirnya salah satunya berhasil!
Anak itu segera keluar dari jeruji itu.
"Bagaimana denganmu?"
"Hanya anakku."
"Baiklah." aku segera menggemboknya
kembali.
"Bergeraklah cepat, pertunjukan gajah sebentar
lagi selesai!"
"Ehem, kuncinya!" kata si pencuri.
"Belum. Belum selesai! Aku harus menyelamatkan
dia!" tunjuk ku ke arah aquarium. Aku berlari ke arah manusia ikan itu dan
menceburkan diri ke air aquarium.
Air itu terasa sangat menusuk di kulitku. Bagaimana tidak, ini kan malam hari!
Tapi aku tidak punya waktu lagi, aku harus cepat. Aku kembali mencoba satu per
satu kunci yang ada. Namun belum ada yang berhasil. Aku mencoba—dan mencoba lagi—dan
akhirnya satu terbuka. Aku mulai kehabisan napas dan naik ke permukaan aquarium.
Sial! Sorak-sorai penonton! Tandanya pertunjukan
gajah telah berakhir, aku harus cepat!
Aku kembali ke dalam air dan mulai berusaha membebaskan
anak itu. Satu per satu kunci kembali aku coba. Kunci yang terakhir benar benar
sulit! Ayolah, kumohon! Semoga yang ini! Tepat saat aku memutar kunci itu,
rantai pun terbuka. Si manusia ikan kini bebas. Tepat saat itu juga, para gajah
di bawa keluar tenda pertunjukan. Badut-badut belum menyadari bahwa si manusia
ikan telah lepas dari rantainya. Manusia ikan itu segera naik. Aku segera
mengantongi kunci-kunci itu dan berusaha naik ke permukaan. Namun, dengan
bodohnya, aku menjatuhkan kunci itu ke dasar aquarium!
Aku segera menceburkan diri ke aquarium dan segera mengambil kunci
itu. Karena suara ceburan ku, para badut menyadari keberadaan kami. Segera aku
meraih kunci dan berenang ke permukaan. Aku berusaha naik, namun sulit sekali
rasanya. Badut-badut itu sudah berlari mendekat ke aquarium. Tepat ketika itu, sepasang tangan mengangkatku dari aquarium itu. Si pencuri!
Kami segera kabur dari sana. Aku menggendong si anak
harimau dan berlari di belakang si pencuri dan si manusia ikan. Sebuah kain beludru
yang menutupi sesuatu—entah
apa—ku tarik dan kubawa berlari.
Aku tahu seseorang akan sangat membutuhkannya.
"Hei, kau tidak mungkin berlari seperti itu kan?
Kau bisa mati kedinginan di udara malam!" Sial! Aku lupa, matanya masih
tertutup oleh kain. Aku merasa lebih
baik aku tidak membuka penutup matanya itu untuk saat ini.
Aku segera menyampirkan kain di tanganku ke tubuhnya, menggenggam
tangannya dan melanjutkan pelarian dari sirkus itu.
~tsdr-edar~