Laman

Kamis, 28 Juni 2012

Circus Escape

                Aku, melihat kerumunan orang-orang di kantin sekolah. Aku berusaha masuk ke dalam sana, tapi sulit sekali rasanya. Akhirnya aku tunggu hingga sedikit lebih sepi. Saat aku memesan, ternyata makanan favoritku di kantin sekolah sudah habis. Dengan rasa kesal, aku memesan susu kemasan rasa coklat supaya aku merasa kenyang, pengganti makan siangku. Kemudian, aku kembali ke kelas.
                Di kelas, teman-temanku membawa bekal makanan ke sekolah. Kelihatannya enak. Biasanya makanan itu di siapkan oleh orang tua mereka—atau mungkin—mereka membuatnya sendiri. Aku sedikit iri pada mereka.
                Bagaimana aku tidak iri, bayangkan saja, bangun sepagi apapun pasti membutuhkan waktu lama bagiku untuk siap-siap. Aku tidak pernah bisa langsung bangun dan bersiap-siap kecuali telat. Selesai bersiap-siap ke sekolah, aku turun ke lantai bawah. Tidak ada apa-apa di meja makan, karena aku memang jarang sarapan, kecuali jika aku meminta sarapan pada ayahku. Aku langsung mengambil sepatu dan berangkat tanpa pamit dengan siapapun. Mengapa? Singkat saja, Ayahku jarang pulang ke rumah—dan sejujurnya aku sangat senang dengan hal ini. Ia hanya memberiku uang bulanan—sedangkan ibuku sudah tiada karena penyakit yang dideritanya. Jadi, siapa yang akan memasak untukku? Hanya saat libur—dan itu kalau aku sedang tidak malas—barulah aku mau memasak, tentunya untuk diriku sendiri.
                Sudahlah, tak ada gunanya memperhatikan mereka terus. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah jendela kelas. Dari posisiku duduk, aku tidak bisa melihat ke lapangan karena aku duduk di kursi ketiga dari depan, barisan ketiga dari pintu kelas. Aku hanya bisa memperhatikan langit dengan pikiran melayang.
                "Shiori!"
                "Apa?"
                "Kau mau ikut?"
                "Ke mana?"
                "Ke pertunjukan sirkus keliling."
                "Kapan?"
                "Minggu depan."
                "Boleh juga! Berapa harga tiketnya?"
                "Tenang saja! Aku yang traktir!"
                "Terima kasih."
                "Sama-sama!"
Wah, pertunjukan sirkus! Ditraktir pula! Kuharap, pertunjukan ini akan menyenangkan.
                Menunggu orang lain benar-benar tidak menyenangkan. Cuaca yang sedikit mendung membuat udara terasa dingin. 'Si pentraktir' tak juga datang, padahal sudah tiga puluh menit berlalu. Benar-benar mengesalkan. Di tempat sesuai janji, hanya ada aku dan ketiga temanku. Mereka adalah Sayu, Nana, dan Kaori. Yang pertama adalah Sayu. Dia adalah anak yang kikuk, keibuan, dan menyenangkan. Yang kedua adalah Nana. Nana itu orangnya cengeng, tapi baik dan pintar. Yang kedua terakhir adalah Kaori. Jujur saja, aku kurang menyukai Kaori. Dia menyebalkan. Dia adalah anak baru yang sedikit sombong. Mungkin karena kami terlalu baik dan terlalu ramah padanya, ia jadi merasa seperti 'bukan anak baru'  dan itu sangat menyebalkan. Karena itu pula, dia ada di sini. Menganggap dirinya sebagai sahabat kami. Dia juga suka mengikuti ke mana pun kami pergi. Benar-benar menyebalkan. Jujur saja, kami semua kurang suka padanya. Tapi, yang sangat terlihat ke'kurang-sukaannya' hanya aku dan Sayu saja.
                "Maaf, aku terlambat!" suara Yuki terdengar dari kejauhan. Dialah 'si pentraktir'  yang aku maksud. Orang terakhir yang kuperkenalkan pada kalian, tentu saja karena dia terlambat.
                "Sudah lewat 30 menit."
                "Maaf, Shiori! Langsung berangkat saja yuk!" usul Yuki segera.


                Sesampainya di sana, kami di sambut oleh badut-badut yang ramah dan lucu. Badut-badut itu bermacam-macam. Ada yang seperti badut biasa—dengan hidung merah dan rambut anehnya—ada yang kakinya panjang. Banyak sekali.  Di lapangan itu juga banyak kios yang menjual makanan, mainan—seperti arena bermain atau ketika festival-festival berlangsung—dan juga sangat ramai.
                Kami memutuskan untuk membeli popcorn dan kembang gula untuk di makan saat pertunjukan. Kami juga berkeliling dan bermain sebentar di kios 'tembak dan dapat hadiah' di mana Nana berhasil menembak dan mendapatkan banyak boneka kecil. Masing-masing dari kami juga diberi oleh Nana.
                "Eh, teman-teman! Aku mau beli es krim. Ada yang mau?"
                "Aku mau yang mint, Sayu yang blueberry, Yuki yang vannila, dan Kaori seperti biasa yang strawberry."
                "Seperti biasa Nana, kau memang pintar dan memiliki ingatan yang hebat.!"
                "Tak perlu memujiku seperti itu."
                "Biar aku bantu, Shiori!" Kaori 'beraksi'.
                "Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Terima kasih." ujarku dengan cepat dan sedikit ketus—walaupun sebenarnya aku berniat sepenuhnya ketus, tapi aku tidak pernah bisa ketus padanya karena takut yang lain akan menunjukan sikap menjauh dariku dan lebih memilih Kaori—kemudian segera berjalan ke kios es krim. Aku segera memesankan pesanan mereka semua. Sambil menunggu pesanan, aku memandang ke sekitarku. Sejauh mata memandang, hanya ada kerumunan orang-orang yang tersenyum bahagia. Mataku kembali mengelilingi tempat itu dan akhirnya terhenti pada seorang pemuda jangkung yang memakai topi besar—dan terlihat  jelas  ia memiliki niat lain di sini yang tentu saja bukan untuk bersenang-senang—ia terlihat mencurigakan. Namun, aku tak begitu menghiraukannya karena bukan urusanku dia mau apa datang ke tempat ini. Kenal orang itu pun tidak, bagaimana aku harus mengurusi urusannya? Jika orang itu mencuri, aku tidak tahu, apakah aku akan peduli dan menghentikannya atau tidak.
                "Maaf, nona! Pesanannya." kata penjaga kios setengah berseru padaku.
                "Eh, oh! Ya! Terima kasih." jawabku sedikit terkaget. Sepertinya penjaga kios itu sudah memanggilku sejak tadi, namun aku terlalu asyik melamun. Aku segera berjalan, menyeberangi kerumunan orang-orang, menuju tempat di mana teman-temanku menunggu.
                "Ah!" seruku dengan pelan. Seseorang menabrak ku dari belakang, seperti sedang terburu-buru. Sekilas aku melihat orang itu. Orang itu adalah pemuda misterius yang kulihat tadi! Dia menatapku sesaat dan langsung pergi setengah berlari terburu-buru.  Aku kembali berjalan menuju tempat teman-temanku menunggu.
               "Ini es krimnya!" kataku. Tepat ketika aku mengambil es krim coklatku, terdengar pengumuman di speaker.
                "Pengunjung sekalian,  pintu masuk tenda sirkus telah di buka! Para pengunjung dipersilakan untuk segera mengantri dengan tertib. Siapkan tiket kalian dan nikmatilah pertunjukannya!"
                Tanpa pikir panjang, kami segera pergi dan mencapai tempat mengantri beberapa saat kemudian. Syukurlah, antrian itu belum terlalu panjang! Dengan tidak sabar, kami menunggu giliran untuk masuk ke dalam tenda pertunjukan.
                Setelah beberapa orang masuk ke dalam tenda, aku baru menyadari, wajah si pengambil tiket sedikit menyeramkan. Cengirannya sangat menakutkan, seperti monster yang menyeringai untuk menakuti mangsanya, tetapi menurutku ia hanya berusaha menjadi lebih ramah. Sebentar lagi giliranku menyerahkan tiket, aku harus mencari tiketnya di tas ku.
                "Ehem, nona. Tiketnya?"
                "Oh, ya! Sebentar, biar aku cari. Tadi ada di tasku. Di mana tiketnya?"
                "Maaf, nona. Anda tidak bisa masuk." wajahnya yang berusaha ramah kini terlihat  masam dan makin menyeramkan.
                "Eh, tapi tiketnya tadi ada di tas ku!"
                "Maaf, nona, anda tidak bisa masuk. Jika anda bersikeras untuk mencarinya, tolong bergeser agar pengunjung lainnya bisa masuk."
                "Ada di sini! Tadi ada di sini!" aku terus bergumam sambil mencarinya. Teman-temanku yang sudah masuk terlebih dahulu menungguku di pintu masuk bagian dalam.
                "Teman-teman! Aku akan mencarinya di dekat kios-kios!"
                "Shiori! Biar aku bantu kau mencari—"
                "Maaf, nona. Tiket hanya berlaku untuk satu kali masuk." Kaori yang akan 'beraksi' dihalangi oleh si penjaga pintu masuk. Terima kasih banyak penjaga seram!
                "Tidak apa-apa, aku—"
                "Aku bisa sendiri, Kaori!"
                "Maaf, nona-nona, kalian menghalangi pintu masuk. Tolong masuk dan segera cari kursi untuk menikmati pertunjukan."
                "Tapi kami—"
                "Silakan!"
                Aku kembali menyusuri tempat-tempat yang aku kunjungi. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Dengan pasrah, harus ku terima, tiketku hilang. Aku tak bisa menontonnya. Tanpa ku sadari, pertunjukan telah di mulai. Terdengar sorak-sorai penonton yang gembira. Aku mengeluarkan ponselku dan mulai mengetik pesan singkat.....
 Yuki, aku tidak menemukan tiketku. Kalian nikmati saja pertunjukannya. Aku akan menunggu kalian di luar tenda.
                Beberapa saat kemudian, Yuki menjawab.
Maaf Shiori. Kami tidak bisa keluar sampai pertunjukan ini selesai.
                Bersamaan dengan itu,  pesan singkat dari Kaori masuk.
Maaf, Shiori. Kalau aku bisa keluar, aku pasti akan menemanimu.
                Aku segera menutup ponselku dengan kesal. Bukan karena kesal tidak bisa menonton pertunjukan, tetapi kesal karena Kaori. Entah kenapa, aku kesal dengan sifatnya itu. Terkadang kalau dipikir kembali, aku sebenarnya mirip dengan dia. Dan aku benci memiliki kesamaan dengannya. Aku hanya ingin mirip dengan 'aku'. Tapi kelihatannya, hadirnya seseorang yang mirip aku itu sangat menyebalkan, kau tahu? Artinya sama saja dengan 'KAU DAPAT DIGANTIKAN ORANG LAIN'. Dan aku benci itu!
                Sambil menahan amarah, aku berjalan melewati kios es krim tadi. Masih berusaha mencari tiket itu. Sehelai kertas tergeletak di tengah jalan itu. Itu.... ya! Itu tiketku! Tapi, terlambat. Aku sudah tidak bisa masuk ke sana. Kesal dan sedih karena hal-hal tersebut, aku memilih berkeliling dan melihat-lihat. Setelah puas berkeliling, takut-takut dan penasaran, aku memberanikan diri mendekati belakang tenda pertunjukan.
                Ada banyak makhluk aneh dan hewan pertunjukan di sana, seperti singa, gajah, dan lain-lain—anehnya, semua di gembok dengan gembok mewah dan mahal. Ada juga aquarium besar di sana. Tapi, aquarium itu kosong. Ikan besarkah yang tinggal di sana? Atau mungkin, Putri Duyung yang hanya ada dalam negeri dongeng? Entahlah. Di sana juga ada karavan-karavan milik artis sirkus. Benar-benar menakjubkan! Jauh dari sana, ada sebuah jeruji besar yang seperti 'terpisah' dari jeruji tempat hewan-hewan pertunjukan dikurung. Termasuk yang satu ini, dikunci dengan gembok mewah.
                Takut-takut dan sedikit menjaga jarak, aku mendekati jeruji itu. Dalam cahaya remang-remang dari obor, terbentuklah sebuah bayangan di rerumputan dekat jeruji itu. Bayangan itu, benar-benar 'aneh'. Bayangan itu seperti seekor harimau besar, namun memiliki sesuatu menempel di punggungnya. Tidak mungkin harimau memiliki sayap, ya kan? Tapi, entahlah jika tebakanku benar. Ini kan 'sirkus'. Aku benar-benar penasaran dengan hewan yang ada di jeruji besi itu. Aku memberanikan diri mendekat, dan kini,  jelas sudah apa yang ada di dalamnya.
                Seekor harimau putih dengan sayap—seperti yang kuperkirakan—sepasang sayap ada di punggungnya. Tetapi sayap itu bukanlah sayap biasa. Sayap kirinya berupa sayap burung yang berwarna putih seputih salju. Namun, sayap kanannya berupa sayap kelelawar—yang tentu saja—berwarna hitam. Harimau itu sedang membuka mulutnya selebar mungkin, seperti siap menyantap seseorang. Dan, seorang anak  berada di dekatnya, duduk sambil memegangi leher si harimau yang mulutnya hampir menerkam kepala anak itu. Apakah dia akan memakan anak itu?
                "Kau. Anak perempuan, kemarilah!" sebuah suara memanggil. Harimau itu kah?
                "Iya!"
                "Tolong urus anak laki-lakiku." Bagaimana bisa anak itu adalah anak harimau  itu? Seakan-akan bisa mendengar pertanyaanku, harimau itu segera menjawab,
                "Bisa saja. Ibunya adalah seorang manusia. Aku sejatinya adalah manusia harimau. Maukah kau?"
                "Uhm, tapi..."
                "Aku tidak bisa mengurungnya terus-terusan bersamaku di sirkus ini. Ia masih sangat muda, ia butuh belajar agar ia bisa menjadi lelaki yang hebat saat besar nanti. Aku harus menitipkannya pada seseorang. Ia harus menemukan 'tempat' nya."
                "Jadi, aku harus menemukan 'tempat'  untuknya? Bagaimana caranya?"
                "Kau akan menemukannya. Tunggulah, tidak akan lama. Bersembunyilah di bawah kandangku."
                Beberapa saat setelah aku bersembunyi, empat orang badut menarik rantai. Badut itu adalah badut ramah yang tadi aku lihat saat masuk ke lapangan ini! Ya ampun, rantai itu membelenggu seorang anak laki-laki berambut biru panjang sebiru laut! Ah, tidak! Biru itu, seperti batu aquamarine!! Begitu indah. Matanya ditutup dengan kain putih. Di kepalanya, ada tanduk seperti tanduk banteng.
                Ketika dekat dengan aquarium, badut itu menaiki tangga di belakang aquarium dan menjatuhkannya ke aquarium besar itu. Saat air menyentuh kaki anak lelaki itu, seketika itu juga kakinya berubah menjadi bersisik dan muncul sirip di tangan dan kakinya. Seluruh tubuhnya menjadi berwarna emas putih. Di lehernya muncul sesuatu, seperti insang. Meskipun di dalam aquarium, kain penutup matanya tidak dilepas. Begitu juga dengan rantai-rantai yang mengikatnya. Rantai yang—lagi-lagi— berlapis berlian mewah dengan rambut aquamarine anak itu dan sisiknya yang berwarna emas putih terlihat berkilauan di dalam air. Benar-benar indah! Jadi, Manusia Ikan ya! Keren!
                Badut-badut itu segera pergi membebaskan gajah-gajah dan masuk ke tenda pertunjukan. Harimau itu kembali berbicara padaku.
                "Anak perempuan. Bebaskanlah anak ku dan duyung itu. Duyung itu akan membantumu. Carilah kuncinya!"
                "Eh, di mana?"
                "Karavan milik Ketua Sirkus."
                "Hah?"
                "Cepatlah!"
                "Baik!"
Aku segera pergi ke kompleks karavan untuk mencari karavan itu. Namun, tidak aku temukan juga. Bagaimana ini? Saat aku menoleh ke samping kananku, itulah karavan yang aku cari! Aku tahu itu karavannya. Bagaimana tidak, terpampang jelas di pintu masuknya, tertulis, 'KARAVAN KETUA SIRKUS'.
                Ketika aku akan naik tangga ke karavan, seseorang dengan terburu-buru hampir menabrak ku. Saat itu juga aku menyadari, dialah pemuda mencurigakan yang aku lihat tadi. Dan dia, membawa tas yang isinya sangat penuh. Tepat sasaran! Benar dugaanku pemuda itu adalah pencuri! Seketika itu juga aku menyadarinya. Pemuda itu baru akan kabur, namun dengan gesit aku menarik bajunya.
                "Lepaskan! Apa urusanmu?! Aku tidak punya urusan denganmu anak kecil!"
                "Maaf, bisa berikan tas itu padaku? Ada barang penting yang kubutuhkan!"
                "Apa maksudmu?"
                "Kunci. Aku butuh kunci untuk membuka rantai dan jeruji besi."
                "Kunci apa?! Aku tak mengerti! Sudah, lepaskan!" ia berhasil kabur.
                "Tunggu! Oh, tidak! Aku kehilangan kunci itu. Bagaimana aku harus mencarinya?" gumamku dengan sedih dan menunduk putus asa.
CRIIING! Sebuah kunci terjatuh di kakiku. Itu  kuncinya!
                "Aku pinjamkan kunci itu! Cepat kembalikan, kunci itu berlapis berlian, emas putih, dan lain-lain! Sangat mahal!" serunya dari kejauhan.
                "Terima kasih!" segera aku berlari menuju jeruji besi itu. Aku mencoba semua kunci dan akhirnya salah satunya berhasil! Anak itu segera keluar dari jeruji itu.
                "Bagaimana denganmu?"
                "Hanya anakku."
                "Baiklah." aku segera menggemboknya kembali.
                "Bergeraklah cepat, pertunjukan gajah sebentar lagi selesai!"
                "Ehem, kuncinya!" kata si pencuri.
                "Belum. Belum selesai! Aku harus menyelamatkan dia!" tunjuk ku ke arah aquarium. Aku berlari ke arah manusia ikan itu dan menceburkan diri ke air aquarium. Air itu terasa sangat menusuk di kulitku. Bagaimana tidak, ini kan malam hari! Tapi aku tidak punya waktu lagi, aku harus cepat. Aku kembali mencoba satu per satu kunci yang ada. Namun belum ada yang berhasil. Aku mencoba—dan mencoba lagi—dan akhirnya satu terbuka. Aku mulai kehabisan napas dan naik ke permukaan aquarium.
                Sial! Sorak-sorai penonton! Tandanya pertunjukan gajah telah berakhir, aku harus cepat!
                Aku kembali ke dalam air dan mulai berusaha membebaskan anak itu. Satu per satu kunci kembali aku coba. Kunci yang terakhir benar benar sulit! Ayolah, kumohon! Semoga yang ini! Tepat saat aku memutar kunci itu, rantai pun terbuka. Si manusia ikan kini bebas. Tepat saat itu juga, para gajah di bawa keluar tenda pertunjukan. Badut-badut belum menyadari bahwa si manusia ikan telah lepas dari rantainya. Manusia ikan itu segera naik. Aku segera mengantongi kunci-kunci itu dan berusaha naik ke permukaan. Namun, dengan bodohnya, aku menjatuhkan kunci itu ke dasar aquarium!
                Aku segera menceburkan diri ke aquarium dan segera mengambil kunci itu. Karena suara ceburan ku, para badut menyadari keberadaan kami. Segera aku meraih kunci dan berenang ke permukaan. Aku berusaha naik, namun sulit sekali rasanya. Badut-badut itu sudah berlari mendekat ke aquarium. Tepat ketika itu, sepasang tangan mengangkatku dari aquarium itu. Si pencuri!
                Kami segera kabur dari sana. Aku menggendong si anak harimau dan berlari di belakang si pencuri dan si manusia ikan. Sebuah kain beludru yang menutupi sesuatu—entah apa—ku tarik dan kubawa berlari. Aku tahu seseorang akan sangat membutuhkannya.
                "Hei, kau tidak mungkin berlari seperti itu kan? Kau bisa mati kedinginan di udara malam!" Sial! Aku lupa, matanya masih tertutup oleh kain.  Aku merasa lebih baik aku tidak membuka penutup matanya itu untuk saat ini.
                Aku segera menyampirkan  kain di tanganku ke tubuhnya, menggenggam tangannya dan melanjutkan pelarian dari sirkus itu. 

~tsdr-edar~

Otoha & Yuuki ~Part 2: Mess in the Art Room~

Pagi ini Otoha mempersiapkan segalanya. Buku catatan kecil dan pensil mekanik ia masukan ke kantung jas sekolahnya. “Oke, ayo, tunjukan ke Yuuki kalau aku bukan cewek sepolos yang dia kira!” kalimat semangat Otoha di lontarkan sebelum ia membuka pintu kamar untuk memulai hari ini.

Bel istirahat sudah berbunyi. Otoha masih diam di kelasnya. Biasanya begitu bel berbunyi, Yuuki pasti langsung datang ke kelas Otoha. Tapi sekarang, Otoha hanya melihat Yuuki melewati kelasnya bersama teman-temannya sambil tertawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Teman-teman sekelas Otoha hafal betul bagaimana cerita Otoha dan Yuuki, baik anak perempuan maupun laki-laki. Yang tidak dekat dengan Otoha pun tahu karena semua selalu membicarakannya. Beberapa teman sekelas Otoha memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“Otoha, tumben kok Yuuki gak ke kelas? Ada apa? Bertengkar ya?” tanya salah seorang dari mereka.
“Udah putus kok.”
“Hah? Putus? Kok bisa?” seluruh kelas terkejut dan mulai membicarakannya. Otoha sempat mendengar ada yang mengatakan “Hah? Putus? Aku ingat jelas, pulang sekolah kemarin Otoha masih berseri-seri mau memberikan kue pada Yuuki kan?”
“Siapa yang memutuskannya?”
“Yuuki. Ah, sudahlah! Untuk apa dibicarakan lagi? Aku sudah tidak peduli dengannya.” Kata Otoha dengan tegar. Lebih tepatnya sok tegar. Karena setelah ia mengatakan itu, ia langsung keluar kelas dan berlari ke toilet dan mulai menangis. “Hahaha! Aku ini hebat sekali ya? Bisa berbicara tegar seperti itu! Kerennya!” tiba-tiba Otoha mulai tertawa menghibur dirinya sendiri. Ia menghapus air matanya, keluar dari toilet, dan mencuci mukanya. Setelah merasa tenang, dengan percaya diri ia menyemangati dirinya di kaca, “Cih, cengeng! Yuuki bisa tertawa melihatku. Oke, sekarang jalankan misiku. Aku akan menyelidiki soal orang yang kusukai! Ayo, Otoha, jangan cengeng!” sambil menepuk-nepuk pipinya.

Ketika keluar dari sana, Otoha melihat sahabatnya, Sakakibara Akane. Otoha refleks memanggilnya, namun segera tertahan begitu melihat dengan siapa Akane mengobrol. Dialah orang itu! Orang yang disukai oleh Otoha! Otoha langsung salah tingkah hingga akhirnya Akane memanggil nama Otoha. Untungnya, orang itu sudah pergi. Otoha segera mengeluarkan buku catatan kecil dan pensil mekanik yang ia siapkan di kantung roknya tadi pagi. Ia menarik Akane ke tempat yang sedikit lebih sepi.

“Akane!” dengan suara tegas, Otoha langsung menyerbu Akane.
“Ya!” Akane tiba-tiba merasa gugup sendiri.
“Dengan siapa tadi kamu mengobrol?” dengan gaya interogasi dan peralatan perang siap di tangan, Otoha memulai penginterogasiannya.
“Hah? Hmm, i-itu....” Otoha sudah siap mencatatnya. “Err, tadi itu kan Arai Kazuki. Senior di klub kesenian.  Masa kau tidak tahu?”
Otoha langsung mencatatnya. “Tidak. Memangnya dia populer?”
“Sangat.” Akane menjawab.
“Dia dari kelas mana sih?”
“2-3. Tumben kau tanya-tanya soal cowok populer seperti ini. Ada apa? Kau suka dia ya?” Akane yang awalnya gugup diinterogasi tiba-tiba menyerang Otoha secara langsung.
“T-tidak kok! Kau jangan sok tahu!” wajah Otoha langsung memerah. Akane memberikan tatapan sudahlah-akui-saja nya yang tajam. “Oke, emang aku suka Arai-senpai. Kau memang pintar membaca perasaan orang, dan itu menyebalkan!”
“Sudah kuduga. Tapi, bagaimana dengan Yuuki?”
“Yuuki? Siapa itu? Kenal saja tidak!” tepat ketika Otoha berbicara begitu, Yuuki lewat di dekatnya. Mereka berdua sempat bertatap-tatapan. Sekilas Otoha merasa wajah Yuuki terlihat sedih. Namun, saat ia perhatikan lagi, ternyata wajah Yuuki terlihat angkuh. Jelas, itu hanya perasaan Otoha saja. Atau mungkin harapan? Yang jelas, Otoha langsung buang muka.
“Kalian bertengkar?” tanya  Akane.
“Tidak kok! Kami sudah putus!” Otoha berbicara dengan suara keras tanpa sengaja. Atau mungkin disengaja agar Yuuki yang baru saja lewat dapat mendengarnya.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” Tanya Akane sambil berjalan. Otoha langsung mengikuti Akane.
“Yah, dia permainkan aku.”
“Mempermainkanmu? Mempermainkan bagaimana?”
“Dia tidak serius pacaran denganku, dan dia sudah merasa bosan. Dia yang mengakuinya sendiri.” Dada Otoha sedikit sesak membicarakannya. “Sudahlah, untuk apa membicarakan cowok gak penting kayak dia. Lebih baik, kau beri aku alasan mengapa kita berada di sini.” Kini mereka berdua telah berada di depan ruangan kesenian. Akane langsung masuk ke dalam. “Akane! Tunggu!” dengan memaksakan diri, Otoha ikut masuk ke dalam mengikuti Akane.

“Akane, kau ngapain sih datang ke sini?” Otoha membuka suara begitu dapat menyusul Akane.
“Lho, memangnya kenapa?”
“Kudengar, di sini kan....” Otoha mengecilkan suaranya, “Angker....”
Akane tertawa puas mendengar Otoha. “Ada-ada saja. Itu hanya gosip kok! Masa tempat seindah ini dibilang angker sih!”
“Indah dari.....mana?” Otoha langsung terpaku menatap ruang kesenian itu.

Ruang kesenian itu terletak di bagian ujung gedung sekolah di mana jarang sekali terkena sinar matahari. Selain itu, guru kesenian juga jarang memakainya dengan alasan belajar di luar kelas lebih efektif untuk pelajaran kesenian, sehingga ruangan ini jarang terurus. Karena itulah banyak murid yang membuat cerita aneh. Namun, tahun ini, Arai Kazuki yang terpilih menjadi ketua klub kesenian mengubah ruang kesenian itu jadi sangat rapi dan bersih. Dan dengan penataan yang baik, kini di saat tertentu, cahaya matahari dapat masuk melalui jendela bertirai, membuat ruangan sedikit redup, begitu indah dan menenangkan.

“Hei, Akane! Kau mau ngapain datang ke sini sih?” Otoha kembali bertanya. Ia berjalan mengelilingi ruangan.
“Yah, Arai-senpai memintaku mengambilkan
“Wooaaah!!!” GUBRAAKK! Tiba-tiba Otoha terjatuh menimpa sesuatu. Otoha merasa mendengar sesuatu patah. Ia juga merasakan sesuatu yang basah mengenai baju dan wajahnya.
“Otoha, kau pasti bercanda! Bagaimana aku akan menjelaskannya pada Arai-senpai?”
“Memangnya kenapa?”
“Kau baru saja mematahkan kuas dan membuang percuma cat air favorit milik Arai-senpai!”
“Hah!? Bohong! ARGH! Apa yang harus aku lakukan?” Otoha langsung melihat kekacauan yang dibuatnya. Sekarang ia sangat panik.
“Akane?” suara seorang cowok langsung mengagetkan kedua sahabat itu.
“Arai-senpai!” tanpa sadar Akane berseru kaget. Otoha langsung diam, gugup dan salah tingkah.
“Ada apa ini? Mengapa temanmu terlihat kacau seperti itu?” kata-kata itu membuat Otoha kaget dan menyentuh pipinya, kemudian melihat ke jari-jarinya. Dia juga memeriksa bagian seragamnya yang terasa basah. Cat! Kini Otoha benar-benar merasa sangat malu dan bersalah. Ia bingung, apa yang harus dilakukannya?
Hanya ini yang terlintas di pikirannya, “Arai-senpai, aku minta maaf. Sangat-sangat meminta maaf! Aku, aku tak sengaja mematahkan peralatan melukis favoritmu.” Kini mata Otoha mulai penuh dengan air mata, yang kemudian menetes karena Otoha membungkukkan badannya dalam-dalam. Kata-kata Akane tadi benar-benar membuatnya merasa bersalah.
“Nggak apa-apa.” Kata Arai-senpai sambil mengambilkan handuk olahraganya yang tertinggal di ruang kesenian, kemudian menyampirkannya menutupi kepala Otoha. Handuk inilah yang diminta Arai  untuk diambilkan Akane.
BRUUUKK! Otoha langsung terduduk lemas sambil menutupi wajahnya dengan handuk yang diberikan . Ia menangis keras sambil ditutupi handuk tersebut. “Maafkan aku, Arai-senpai! Aku benar-benar tidak sengaja! Akan aku gantikan dengan yang baru!” Otoha berbicara dengan susah payah di tengah tangisannya.
Arai  tersenyum lembut menatap Otoha yang masih menangis. “Nggak perlu kok. Biar aku beli sendiri yang baru.”
“J-jangan, Senpai! Aku akan menggantinya! Aku janji!” kata Otoha sambil sesenggukan.
“Baiklah kalau kau memaksa. Kita cari besok, sepulang sekolah. Bagaimana?”
Otoha langsung berhenti menangis. “Benarkah?” suaranya teredam handuk.
“Ya. Kusarankan kau segera merapikan diri karena sebentar lagi akan masuk. Sudah dulu ya, habis ini ada pelajaran olahraga jadi aku harus segera ke lapangan.” Katanya sambil tersenyum meskipun ia tahu Otoha tak mungkin melihat senyumannya. “Tolong ya, Akane!” Arai memberi tanda pada Akane untuk mengurus Otoha. Akane hanya mengangguk.
“Ayo, Otoha!” kata Akane sambil membantu Otoha berdiri dan membawanya ke toilet untuk merapikan diri.

~tsdr-edar~

Senin, 28 November 2011

Otoha & Yuuki ~Part 1: Challenge~

“Otoha, pulang sekolah nanti kutunggu di belakang gedung olahraga.”
“Iya, nanti aku ke sana!” jawab Otoha riang. Kebetulan dia menyuruh Otoha bertemu dengannya sepulang sekolah nanti. Otoha pun berpikir untuk menyerahkan kue yang ia buat saat pelajaran PKK. Kue tersebut sudah siap untuk diberikan, sudah terbungkus dengan manis dan menarik.

“Semoga dia menyukai kue ini!” gumam Otoha pada dirinya sendiri setelah guru meninggalkan kelas. “Hei, teman-teman! Doakan semoga Yuuki suka kueku ya!” teriak Otoha pada teman-teman sekelasnya. Mereka bersorak-sorai memberi dukungan padanya.

Nama panjangnya adalah Shimizu Otoha. Cowok yang mengajak Otoha untuk bertemu di belakang gedung olahraga alias cowok yang akan diberi kue oleh Otoha adalah Kisaragi Yuuki. Awal Otoha berkenalan dengan Yuuki adalah melalui bola baseball. Waktu itu, seseorang melempar bola ke arah pinggir lapangan. Kebetulan Otoha sedang berada di sana. Otomatis, wajah Otoha yang tepat kena sasaran. Yuuki adalah salah seorang yang ikut main bola di sana. Dia yang mendapat giliran untuk mengambil bola karena lebih dekat untuk mencarinya. Melihat Otoha yang sedang kesakitan, dia datang menghampiri dan menanyakan keadaan Otoha. Saking perhatiannya, sampai-sampai dia meninggalkan permainan baseball-nya dan melihat apakah Otoha terluka atau tidak. Setelah memastikan keadaan Otoha baik-baik saja dan kebetulan ada salah satu sahabat Otoha yang lewat, dia kembali ke lapangan untuk melanjutkan permainannya. Sejak saat itu, dia mulai sering menyapa dan mengajak Otoha mengobrol. Mereka mengobrol banyak soal buku dan juga lagu. Terkadang, dia juga mengajak Otoha untuk menonton pertandingan tim baseball bersama teman-temannya. Sebenarnya dia bukan anak klub baseball, tapi dia memang suka menonton dan dekat dengan anak-anak klub baseball.

Wah, Yuuki sudah menungguku! Kurasa lebih baik kue ini jadi kejutan untuknya. Biar kusimpan di balik punggungku. Pikir Otoha.
“Yuuki!”sapa Otoha riang dengan niat mengejutkannya. Dan, berhasil! Dia terkejut!
“Jangan mengejutkanku seperti itu!”
“Hehehe, maaf! Eh, aku....”
“Otoha....”
“I-iya!” tiba-tiba Otoha merasa gugup.
“Kamu itu sangat mudah ditipu ya? Kamu betul-betul polos. Rasanya jadi membosankan. Selama ini aku hanya main-main denganmu. Tapi kamu menganggap hubungan kita ini benar-benar serius. Aku ingin kita putus.”
“Hah? Maksudmu? A-aku tidak mengerti yang kau maksud...”
“Aku bosan denganmu. Selama ini aku hanya mempermainkanmu. Sekarang kita putus.” Yuuki dengan singkat menyatakan semuanya dengan jelas. Mata Otoha mulai dipenuhi air mata. Rasanya semua perasaan kesal dan amarah meluap di dadanya. Tanpa sadar Otoha meremas kue yang telah disiapkannya untuk Yuuki.
“Sialan! Selama ini kau mempermainkanku!”
“Ya!”
“Kau benar-benar bodoh menganggapku sepolos itu!”
“Hah?”
“Sebenarnya aku sudah menyukai orang lain, beberapa lama setelah kita jadian! Kalau bukan karena aku mengasihanimu yang sudah berjuang keras, aku juga pasti sudah minta putus sejak awal aku menyukai orang itu!” kata Otoha dengan nada tinggi. Amarahnya mulai meluap. Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba dada Yuuki terasa sakit.
“Kita lihat saja, kalau kau bisa mendapatkan orang itu dalam waktu seminggu, berarti kau memang bukan cewek yang mudah dipermainkan!” tanpa sadar Yuuki menantang Otoha.
“Kalau kau tidak bisa mendapatkan pacar baru dalam seminggu, selamanya kau akan jadi pecundang besar!” Otoha menantang balik Yuuki.
“Oke, kuterima tantanganmu!” Yuuki menerimanya dengan nada tinggi.
“Aku juga terima tantanganmu!” balas Otoha, dengan nada yang tak kalah tinggi dari Yuuki sambil mengangkat wajahnya, mencoba bersikap tegar meskipun matanya sudah tidak bisa melihat dengan jelas karena terhalang oleh air mata. Ia segera membalikan badan, tepat waktu ketika butiran-butiran air mata jatuh ke pipinya. Ia berjalan pergi.

Cih, bodoh sekali aku mau memberikannya kue buatanku! Kubuang sajalah! Pikir Otoha sambil melemparkan kue buatannya ke dalam tong sampah. Yuuki yang berniat untuk mengambil tas ke kelasnya kebetulan melihat Otoha membuang kue buatannya. Yuuki mendekati tong sampah itu, mengambil kue itu dan membaca kartu ucapan di dalamnya. Tak lama setelah itu, ia memasukan kue dan kartu ucapan tersebut ke dalam saku jaketnya.

Otoha berjalan cepat menuju toilet. Ia langsung masuk dan mengunci toilet tersebut. Ia mengeluarkan semua air mata dan meluapkan semua amarahnya. Entah kenapa, hatinya terasa remuk redam. Air matanya tak henti-hentinya mengalir ketika mengingat perkataan Yuuki. Aku bosan denganmu. Selama ini aku hanya mempermainkanmu. Sekarang kita putus. Kata-kata Yuuki tersebut bagaikan kaset rusak yang terus mengulang-ulang beberapa bagian. Kata-kata itu terus mengiang-ngiang di telinga Otoha dan selalu berhasil membuat air matanya mengalir deras. Cukup! Aku tidak boleh menangis lagi karena cowok sialan itu! Aku harus membuktikan kalau aku bukan cewek bodoh yang mudah dipermainkan oleh orang macam dia! Otoha mulai menghapus air matanya. Ia membuka pintu toilet dan mencuci wajahnya di wastafel. Matanya terlihat sembab. Otoha tak lagi peduli, yang penting sekarang ia harus pulang, mengompres matanya, dan membuat rencana untuk mendapatkan orang yang telah membuatnya ‘suka’ ketika ia berpacaran dengan Yuuki.

~tsdr-edar~